Mengacu kepada Perpres Nomor 108 Tahun 2022, bahwa Food Estate masuk ke dalam proyek prioritas strategis, bahkan Food Estate juga masuk ke dalam golongan Proyek Strategis Nasional (PSN) dalam Permenko Perekonomian Nomor 21 Tahun 2022. Presiden Jokowi adalah sebagai menggagas proyek Food Estate di awal periode keduanya
Tahun 2021 di Kalimantan Tengah sudah dimulai pengerjaan proyek Food Estate, adapun target yang ingin dicapai yaitu seluas 30 ribu hektar. Target tahun 2022 luas proyek food estate diharapkan bisa mencapai 60 ribu hektar, kemudian sampai akhir tahun 2025 ditargetkan mencapai 1,4 juta hektar.
Pulau Pisang adalah salah satu lokasi proyek Food Estate di Kalimantan Tengah direncanakan 10 ribu hektar dan di Kabupaten Kapuas seluas 20 ribu hektar, termasuk juga di Kabupaten Gunung Mas dengan target luas 30 ribu hektar. Proyek Food Estate lainnya juga dilakukan di beberapa propinsi, seperti Papua, NTT, Sumut dan Jawa Timur.
Proyek Food Estate yang sudah digagas oleh Presiden Jokowi kususnya di Kaliman Tengah agar bisa berhasil tentu membutuhkan proses dan waktu tahunan karena kondisi lahan yang dibuka adalah lahan marjinal sehingga membutuhkan proses peningkatan kesuburan tanahnya, di lahan marjinal jika awal tanam tentu tidak akan bisa langsung produktif karena tingkat kesuburan tanahnya masih rendah.
Cetak Sawah Era Presiden Soeharto
Jika kita ingat era Presiden Soeharto di masa orde baru tahun 1995, proyek serupa sudah pernah dilakukan untuk pengembangan lahan gambut melalui Keppres Nomor 82 Tahun 1995 tentang Proyek Lahan Gambut (PLG) sejuta hektar sawah di Kalimantan Tengah. Secara konseptual tujuan dari Proyek Lahan Gambut (PLG) tersebut sangatlah bagus, masyarakat lokal bisa diberdayakan, bahkan bisa membuka lapangan pekerjaan dan menampung petani sekitar 300 ribu kepala keluarga (KK)
Walau tujuan Proyek Lahan Gambut (PLG) tersebut sangatlah baik, tapi akhirnya diputuskan gagal pada tahun 1998 melalui Keppres Nomor 33 Tahun 1998 di masa pemerintahan BJ Habibie. Faktor utama kegagalannya adalah karena ekosistem lahan gambut tidak layak untuk ditanami padi, besarnya biaya yang dibutuhkan sehingga menguras uang negara, rencana membangun lumbung pangan gagal dibangun malah lahannya beralih menjadi lahan perkebunan sawit.
Cetak Sawah Era Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono
Walau gagal cetak sawah di era Presiden Soeharto, kebijakan yang sama juga dilakukan kembali oleh Presiden SBY dengan program Merauke Integrated Food and Energy Estate (MIFEE) dengan tujuan untuk meraih swasembada pangan dan energi. Pembukaan lahan untuk cetak sawah dalam program MIFEE dilaksanakan di Merauke, dengan membuka hutan seluas 1,2 juta hektar.
Salah satu penyebab kegagalan cetak sawah di era SBY adalah melibatkan investor yang membuka hutan seluas 1,2 juta hektar mengakibatkan rusaknya hutan sagu milik masyarakat lokal, sulit mendapatkan sumber bahan makanan lokal, seperti ikan dan hewan buruan.
Pada tahun 2011, Presiden SBY membuat kebijakan baru lagi dengan program Food Estate Bulungan, lokasi yang dipilih adalah Kota Terpadu Mandiri Salim Batu, Kalimantan Utara dan berkembang ke kabupaten di Propinsi Kalimantan Timur dengan mencetak sawah seluas 300 ribu hektar yang lahanya akan digarap oleh petani transmigrasi.
Tahun 2013 dilakukan juga program ketahanan pangan dengan nama program Food Estate Ketapang di Kalimantan Barat untuk mencetak sawah seluas 100 ribu hektar.
Bisa dikatakan semua program cetak sawah di era SBY belum berhasil, proyek Food Estate Bulungan dan di Ketapang sampai bulan Agustus 2013 hanya berhasil dikembangkan sekitar 100 hektar sawah dari rencana yang akan dibuka seluas 100 ribu hektar, sedangkan di Bulungan, hingga 2014 baru tercetak sekitar 1.000 hektar sawah dari rencana yang akan dibuka seluas 300 ribu hektar.
Bagaimana rencana cetak sawah seluas 1 juta hektar di Merauke, apakah akan berhasil ?
Ada beberapa program pemerintah dalam rangka meraih swasembada gula dan bioetanol, salah satunya adalah pemerintah menargetkan pembukaan lahan seluas 2 juta hektar melalui investasi perkebunan tebu di Kabupaten Merauke, Provinsi Papua Selatan. Perkebunan tebu seluas 2 juta hektar tersebut akan terintegrasi dengan industri gula, bioetanol dan pembangkit listrik biomassa. Investasi perkebunan tebu tersebut akan melibatkan investor dari BUMN, swasta dan perusahaan asing. Target pemerintah adalah akan mampu memproduksi gula sebesar 2,6 juta ton dan 244 juta liter bioetanol.
Untuk program strategis nasional lainnya adalah mencetak lahan sawah seluas 1 hektar, bukan merupakan investasi atau proyek swasta tapi semua akan dibiayai dan dikerjakan atas nama negara. Program strategis nasional ini dilakukan di Merauke karena lokasinya sangat luas, lahannya datar, subur, sumber airnya mendukung, potensinya mendukung untuk budidaya tanaman padi sepanjang tahun, bisa diperkirakan tingkat keberhasilan tinggi.
Ada yang menjadi perhatian pemerintah ke depan yaitu program cetak sawah seluas 1 juta hektar merupakan rencana jangka panjang karena untuk mencetak sawah terlebih dahulu harus membangun insfrastruktur, bendungan, jembatan, membuka jalan raya sepanjang 135 km dari wilayah Ilwayab menuju Ngguti dan membenahi saluran air sepanjang jalan untuk mengoptimalkan aliran air yang akan mengairi sawah seluas 1 juta hektar.
Bagaimana dengan program pemerintah untuk memproduksi beras jangka pendek ? Mengingat kebutuhan beras secara nasional setiap tahun selalu bertambah jumlahnya karena bertambahnya jumlah penduduk. Impor beras Indonesia tahun 2023 sebanyak 3 juta ton, impor beras terbesar selama 10 tahun terakhir dan rencana ijin impor tahun 2024 juga bertambah besar menjadi 3,6 juta ton.
Presiden Prabowo Subianto perlu memiliki gagasan yang visioner dan revolutioner tentang program hasil cepat untuk memproduksi beras, impor beras diminimalisir, pemerintah bisa meraih surplus beras dan akhirnya bisa menjadi lumbung pangan dunia yang berpotensi menjadi salah satu negara pengekspor beras.
Penulis :
Tonny Saritua Purba, S.P
Sekjen Forum Asta Cita Indonesia